Rabu, 06 April 2011

Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Erosi Tanah


Degradasi lahan merupakan masalah utama lingkungan dan isu penting dalam Konvensi PBB untuk Desertifikasi, Konvensi Biodiversity dan Protokol Kyoto. Menurut FAO, definisi degradasi lahan adalah penurunan kapasitas produktif lahan secara temporal maupun permanen. Berdasarkan definisi ini, degradasi lahan berhubungan erat dengan kualitas tanah. Salah satu bentuknya adalah erosi tanah, yang merupakan proses pemecahan dan transportasi tanah pada permukaan lahan oleh angin dan air yang dipengaruhi oleh faktor alam (energi hujan, materi induk tanah, kedalaman tanah, dan topografi/kemiringan lereng) dan faktor antropologi (tipe vegetasi, tutupan vegetasi dan praktek managemen) (El-Swaify, 1994). Dengan demikian erosi tanah adalah fungsi dari erosivitas dan erodibilitas tanah (kondisi fisik tanah, kondisi topografi dan tutupan vegetasi/penggunaan lahan). Erosi tanah merupakan salah satu bencana sumber daya alam, yang jika terjadi terus menerus akan memicu terjadinya bencana alam lain, seperti tanah longsor dan banjir.
Erosi tanah adalah masalah utama yang terjadi secara meluas hingga kini di Provinsi Bali. Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan angka lahan kritis dan sedimentasi di beberapa DAS, khususnya di Sub DAS Mesaam yang merupakan bagian dari DAS Sabah Daya. Wilayah ini mempunyai intensitas hujan tinggi dan kondisi topografi yang bervariasi. Selama 30 tahun, penggunaan lahan di wilayah ini berubah secara drastis. Hal ini dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk yang cepat sehingga pemenuhan kebutuhan hidup dasar seperti makanan dan tempat tinggal juga meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, penduduk membuka lahan untuk pertanian dan perkebunan secara terus menerus tanpa mempertimbangkan kondisi tanahnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa Sub DAS Mesaam mempunyai potensi tinggi untuk terjadnya erosi tanah.
Pemantauan erosi tanah di Sub DAS Mesaam agak sulit dilakukan akibat dari kondisi lahan yang berbukit dan bergunung serta peningkatan populasi penduduk yang cepat. Hal ini juga dipicu oleh ketiadaan data spasial perubahan penggunaan lahan secara cepat. Dengan kata lain, keberadaan data fisik spasial yang tersedia secara cepat sangat penting untuk memantau dan menghitung erosi tanah yang terjadi.
Integrasi teknik penginderaan jauh dan GIS sudah digunakan untuk menghitung nilai erosi sejak tahun 1970. Proses erosi meliputi perubahan waktu dan tempat, yang mana GIS merupakan alat yang optimal untuk memperbaharui informasi tentang erosi. Sedangkan teknik penginderaan jauh merupakan alat untuk mendeteksi dan memantau perubahan penggunaan lahan sebagai masukan untuk model perhitungan erosi tanah.
Indeks Erosivitas Hujan
Indeks erosivitas hujan di Sub DAS Mesaam, Provinsi Bali pada tahun 2005 kurang lebih sebesar 0,11-329,99 ton/ha/cm. Sedangkan rata-rata indeks erosivitas hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Indeks erosivitas hujan tertinggi dengan nilai lebih dari 100 terjadi pada bulan Desember sampai April. Ini mengindikasikan pada bulan-bulan tersebut mempunyai potensi tinggi terjadinya erosi. Pada bulan Mei sampai September, intensitas hujan menurun secara drastis. Kondisi ini sangat berbahaya, karena tanah menjadi jenuh sehingga kemungkinan terjadinya longsor sangat tinggi.
Erodibilitas Tanah
Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus Bols, erodibilitas tanah Sub DAS Mesaam terbagi menjadi 3 kelas, yaitu sangat rendah, tinggi dan sangat tinggi. Area masing-masing kelas erodibilitas tanah ditunjukkan pada gambar 1.
Kemiringan Lereng
Berdasarkan pada peta kemiringan lereng, Sub DAS Mesaam mempunyai topografi yang bervariasi. Tingkat kemiringan lereng mempunyai pengaruh terhadap erosi tanah. Tingkat kemiringan lereng tinggi (>8%) akan memberikan kontribusi besar terjadinya erosi tanah.
Penggunaan lahan
Penggunaan lahan merupakan salah satu faktor penentu erosi yang bersifat dinamis. Dalam kurun waktu 30 tahun, Sub DAS Mesaam telah mengalami perubahan penggunan lahan yang cukup drastis. Kondisi ini dapat dilihat dari hasil penafsiran citra selama kurun waktu 30 tahun (1976-2006) dengan menggunakan 4 citra yang mempunyai resolusi spasial dan resolusi temporal yang berbeda, yaitu citra Landsat MSS (1976), Citra Landsat TM 5 (1989), Citra Landsat ETM+ 7 (2000) dan citra ASTER (2006).
Pada tahun 1976, kurang lebih 40% area Sub DAS Mesaam tertutup oleh hutan dan 23.92% merupakan lahan pertanian kering campur. Wilayah penelitian didominasi oleh penggunaan lahan dengan kerapatan vegetasi lebih dari 50%, yang berupa hutan dan semak/belukar. Sedangkan lahan kosong hanya 3.33%. Kondisi ini dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang sedikit yang mana tingkat pemenuhan kebutuhan hidup dasar juga kecil.
Pada tahun 1989, pertanian lahan kering campur mendominasi penggunaan lahan di wilayah penelitian sebesar 53.65% yang diikuti oleh hutan seluas 21%. Dibandingkan dengan tahun 1976, luas area hutan mengalami penurunan, terutama pada hutan sekunder, sedangkan luas penggunaan lahan berupa lahan pertanian kering meningkat. Kondisi ini disebabkan adanya okupasi oleh penduduk yang tinggal di sekitar hutan.
Pada tahun 2000, sebaran luas penggunaan lahan berupa hutan, semak/belukar, lahan pertanian kering campur dan lahan pertanian kering adalah 25%, 13%, 26% dan 10%. Sedangkan pemukiman dan lahan kosong mempunyai luasan sebesar 0,58% dan 0,21%. Perubahan penting terjadi dari penggunaan lahan hutan dan pertanian lahan kering campur ke semak/belukar. Kondisi ini diakibatkan oleh petani yang mengganti semua tanaman kopi menjadi jeruk.
Pada tahun 2006, prosentase luas hutan, semak/belukar, perkebunan dan lahan pertanian kering campur adalah 25%, 17%, 23% dan 19%. Sisanya adalah pemukiman, rumput, lahan pertanian kring dan lahan kosong. Pada tahun ini, hampir semua penggunaan lahan mengalami perubahan luasan. Perubahan penggunaan lahan terbesar terjadi dari semak/belukar dan pertanian lahan kering campur ke perkebunan.
Perubahan Penggunaan Lahan
Sub DAS Mesaam mengalami perubahan penggunaan lahan yang sangat drastis dalam kurun waktu 30 tahun (1976-2006), terutama perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi semak/belukar, perkebunan, pemukiman, lahan kosong dan rumput.
Pada periode 1976-1989, perubahan penggunaan lahan terjadi pada hampir semua tipe penggunaan lahan dengan prosentase lebih dari 90%. Lahan kosong berubah total menjadi tipe penggunaan lahan lain. Hutan mengalami perubahan seluas 47%. Hutan primer tidak mengalami perubahan terlalu luas, karena lokasinya yang terletak di pegunungan dan perbukitan, sehingga sulit dijangkau. Di samping itu, penduduk di wilayah penelitian memiliki kearifan lokal (local wisdom) untuk menjaga hutan. Hal ini juga ditunjang oleh program rehabilitasi lahan dan hutan dari Departemen Kehutanan.
Pada periode 1989-2000, perkebunan, lahan pertanian kering dan rumput berubah total menjadi tipe penggunaan lahan lain. Dibandingkan dengan perubahan penggunaan lahan pada periode 1976-1989, perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi tipe penggunaan lahan lain meningkat, yaitu sebesar 63%. Akibat adanya kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia pada waktu itu, perubahan penggunaan lahan terjadi lebih besar dibandingkan pada periode sebelumnya.
Pada periode 2000-2006, perubahan penggunaan lahan terutama terjadi pada lahan kosong, pemukiman, hutan sekunder dan lahan pertanian kering. Perubahan pada hutan primer relatif kecil, hal ini merupakan salah satu indikasi dari keberhasilan Program Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan. Sedangkan sebagian besar hutan sekunder berubah menjadi perkebunan dan semak/belukar. Sejak tahun 2004, kualitas jeruk menurun dan petani mengubah tanaman jeruk menjadi kopi. Akibat dari permintaan pasar dan harga kopi yang tinggi, petani mengubah pertanian lahan kering menjadi perkebunan kopi.
Erosi Tanah
Secara umum, area yang mengalami tingkat erosi tinggi adalah di sepanjang sungai dan lembah. Kemiringan lereng yang tinggi, tingkat erodibilitas tanah tinggi dan lahan dengan tutupan vegetasi kurang dari 20% adalah parameter utama yang menyebabkan terjadinya erosi. Kenampakan erosi berupa riil dan gully sering terjadi pada lembah dengan kemiringan lereng yang tinggi. Perbedaan tipe penggunaan lahan juga memberikan perbedaan pada tingkat erosi tanah. Pada jenis tanah dan kemiringan lereng yang sama, hutan memberikan kontribusi pada terjadinya erosi lebih kecil dibandingkan dengan lahan pertanian atau semak/belukar. Perubahan penggunaan lahan, terutama dari perkebunan kopi menjadi perkebunan jeruk dan lahan pertanian kering, seperti, jagung dan sayuran, merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya erosi. Struktur pohon dan kanopi tanaman kopi membuat aliran air hujan dapat tertahan dibandingkan dengan pertanian lahan kering dan tanaman jeruk, di samping adanya tanaman pelindung pada tanaman kopi. Air hujan yang langsung jatuh ke tanah dapat menyebabkab erosi lebih besar, dibandingkan dengan air hujan yang turun melalui daun dan batang.
Pada 1976, hampir seluruh wilayah penelitian tertutup oleh hutan, sehingga luas wilayah dengan erosi tingkat tinggi relatif rendah. Sedangkan lahan kosong dan pertanian lahan kering memberikan kontribusi yang tinggi pada terjadinya erosi. Pada tahun 1989, luas wilayah yang mengalami erosi lebih besar dibandingkan pada tahun 1976. Hal ini dikarenakan adanya penurunan luas hutan. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan kosong dan perkebunan menyebabkan peningkatan erosi pada kelas erosi tinggi. Peningkatan jumlah penduduk dan pemenuhan kebutuhan dasar hidup penduduk menyebabkan perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi perkebunan dan lahan pertanian kering campur.
Kesimpulan dan Saran
Sub DAS Mesaam terletak pada dataran tinggi dengan didominasi oleh area yang mempunyai kemiringan lereng lebih dari 8%. Intensitas hujan rata-rata bulanan adalah 717,4 mm dan indeks erosivitas tertinggi terjadi pada bulan Januari. Berdasarkan, kondisi fisik wilayah penelitian yang meliputi kemiringan lereng, tipe batuan, erodibilitas tanah, dan indeks erosivitas hujan, Sub DAS Mesaam mempunyai potensi tinggi untuk terjadinya erosi.
Data penginderaan jauh multi temporal dan multi spektral mempunyai banyak kelebihan dalam menghitung perubahan penggunaan lahan. Integrasi teknik penginderaan jauh dan GIS dapat digunakan untuk manajemen dan analisis parameter-parameter erosi dan selanjutnya untuk monitoring dan perencanaan wilayah.
Strategi manajemen aktif yang bertujuan untuk konservasi dan regenerasi hutan harus dilaksanakan secara berkesinambungan untuk mengurangi erosi tanah di wilayah penelitian. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menggunakan data-data penginderaan jauh yang mempunyai resolusi sepktral dan spasial tinggi untuk mengekstrak parameter-parameter erosi. Berdasarkan data perubahan penggunaan lahan, model penentuan besarnya erosi tanah dapat dikembangkan.

searching by google

KEWARGANEGARAAN




Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (bahasa Inggris: citizenship). Di dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (bahasa Inggris: nationality). Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara.
Di bawah teori kontrak sosial, status kewarganegaraan memiliki implikasi hak dan kewajiban. Dalam filosofi "kewarganegaraan aktif", seorang warga negara disyaratkan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan komunitas melalui partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan berbagai kegiatan serupa untuk memperbaiki penghidupan masyarakatnya. Dari dasar pemikiran ini muncul mata pelajaran Kewarganegaraan (bahasa Inggris: Civics) yang diberikan di sekolah-sekolah.
Kewarganegaraan Republik Indonesia
Seorang Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional.
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah
  1. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
  2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
  3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya
  4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut
  5. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI
  6. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI
  7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin
  8. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
  9. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui
  10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
  11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI, yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan
  12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi
  1. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing
  2. anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
  3. anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
  4. anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.
Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam situasi sebagai berikut:
  1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan Indonesia
  2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.
Dari UU ini terlihat bahwa secara prinsip Republik Indonesia menganut asas kewarganegaraan ius sanguinis; ditambah dengan ius soli terbatas (lihat poin 8-10) dan kewarganegaraan ganda terbatas (poin 11).

searching by google.com